Haramnya Memakan Harta Dengan Cara Yang Batil - Surat Al Baqarah ayat 188-189
Bersama Pemateri :
Ustadz Abu Yahya Badrusalam
Haramnya Memakan Harta Dengan Cara Yang Batil – Surat Al Baqarah ayat 188-189 adalah kajian tafsir Al-Quran yang disampaikan oleh Ustadz Abu Yahya Badrusalam, Lc. Kajian ini beliau sampaikan di Masjid Al-Barkah, komplek studio Radio Rodja dan Rodja TV pada Selasa, 6 Rabbi’ul Tsani 1441 H / 03 Desember 2019 M.
Kajian Tentang Haramnya Memakan Harta Dengan Cara Yang Batil – Surat Al Baqarah ayat 188-189
Setelah selesai kita membahas ayat-ayat puasa, kemudian Allah Ta’ala berfirman:
وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُم بَيْنَكُم بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِّنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالْإِثْمِ وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ ﴿١٨٨﴾
“Dan janganlah kalian memakan harta kalian di antara kalian dengan cara yang bathil.” Kata-kata “memakan” di sini tidak menunjukkan yang lainnya boleh. Yang jelas kata-kata “memakan” ini mempunyai makna lebih luas. Tapi Allah menyebut dengan kata “memakan” karena memang memakan itu sesuatu yang paling besar. Maka kalau misalnya kita tidak memakan tapi kita menggunakannya bukan untuk sebagai makanan, tetap haram, tidak boleh.
“Maka janganlah kalian memakan harta kalian diantara kalian dengan cara yang batil“. Dengan cara yang batil, tentunya artinya dengan tanpa hak, yang tidak diizinkan oleh syariat Islam. Berupa riba ataupun yang sifatnya curang, ataupun sifatnya dzalim dan yang lainnya, maka ini semua adalah memakan harta dengan batil.
“Dan kamu menyampaikan dengannya kepada hakim.” Maksudnya bagaimana? Sebagian ulama mengatakan artinya kamu berusaha memakan harta dengan cara yang batil yaitu dengan cara menyampaikannya kepada hakim yaitu risywah (suap-menyuap). Untuk bisa mendapatkan sesuatu, kamu suap si hakim supaya kamu bisa mendapatkannya tapi dengan cara yang batil seperti itu. Maka ini diharamkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.
“Akibatnya kamu akan memakan sebagian dari harta manusia dengan cara yang dosa dalam keadaan kamu mengetahuinya.” berbeda kalau kamu tidak tahu, maka yang seperti ini masih dimaafkan. Adapun kalau kamu tahu bahwa itu tidak boleh dan kamu kemudian menggunakan cara tersebut untuk bisa memakan harta manusia dengan cara yang batil, maka ini sebuah dosa yang diharamkan dalam syariat Islam.
Faidah Surat Al-Baqarah Ayat 188
Kata Syaikh Utsamin Rahimahullah:
Haramnya memakan harta dengan cara yang batil
Apa yang disebut cara yang batil? Yaitu segala sesuatu yang tidak berhak secara syariat. Secara syariat tidak berhak dan dan tidak dibenarkan, maka itu batil. Walaupun secara kebiasaan, itu biasa-biasa saja. Terkadang dimasyarakat kita yang namanya suap menyuap itu biasa. Bahkan dianggap itu lumrah. Tapi secara syariat itu batil karena dilarang dalam Islam. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
لَعَنَ اللَّهُ الرَّاشِيَ وَالْمُرْتَشِيَ
“Semoga Allah melaknat orang yang menyuap dan yang menerima suap.” (HR. Ahmad)
Jadi makna “batil” itu adalah segala sesuatu yang itu tidak berhak untuk kita dapatkan secara syariat.
Islam sangat menjaga harta manusia
Syariat ini -terutama Allah Subhanahu wa Ta’ala yang mensyariatkan kepada kita syariat-syariat- sangat bersungguh-sungguh untuk menjaga harta. Islam sangat menjaga harta manusia. Makanya didalam Islam mengambil harta manusia dengan tanpa hak itu termasuk dosa besar dan hukumannya dalam Islam pun juga berat.
Orang yang mencuri -misalnya- maka dipotong tangan. Orangnya yang makan riba, bagaimana Allah menyebutkan tentang dosanya yang begitu besar. Satu dirham riba -kata Rasulullah- sama dengan 36 kali berzina. Karena riba itu hakikatnya memakan harta manusia dengan tanpa hak.
Oleh karena itulah dalam masalah harta, Islam sangat betul-betul memperhatikan. Maka siapa yang mengklaim harta, wajib dia bawa saksi.
Haramnya Risywah (menyuap)
Lalu bagaimana kalau keadaannya kita harus menyuap, kalau kita tidak menyuap hak kita terhalang. Artinya kita ingin mendapatkan hak kita. Tapi kita tidak bisa mendapatkan hak kita kecuali dengan cara uang pelicin. Bagaimana ini? Khilaf para ulama dalam hal ini. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahullah condong kepada pendapat boleh.
Kenapa? Karena masalahnya ini untuk mendapatkan hak kita. Adapun dosanya, dia yang dapat. Dan beliau berdalil dengan hadits bahwasannya ada seorang pemuda datang kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan minta, dan minta, dan minta dengan memaksa. Maka kemudian Rasulullah memberikannya. Lalu orang itu pergi, maka Rasulullah bersabda, “Orang itu pergi dalam keadaan di ketiaknya ada api neraka”. Lalu Umar berkata, “Hai Rasulullah, kenapa engkau berikan juga padahal itu neraka buat dia?” Kata Rasulullah, “Dia maksa untuk minta dan aku bukan orang yang pelit.”
Maka atas dasar ini kata Syaikhul Islam kalau misalnya kita untuk bisa mendapatkan hak kita tidak bisa kita lakukan kecuali dengan adanya uang pelicin, kalau tidak begitu kita akan terhalang, terpaksa namanya, darurat. Tapi ternyata kita bisa mendapatkannya dengan tanpa uang pelicin, tidak boleh, tetap hukumnya haram. Dalam Islam yang namanya uang pelicin atau uang suap itu haram. Ini kebudayaan yang sangat tidak dibenarkan dalam syariat Islam.
Memutuskan sebatas yang tampak
Seorang hakim hendaklah dia memutuskan sebatas yang tampak kepada dia saja. Adapun yang tidak tampak, itu bukan urusan dia. Sebagaimana Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
إِنَّمَا أَقْضِي بَيْنَكُمْ عَلَى نَحْوِ مَا أَسْمَعُ
“Aku menghakimi kalian sesuai yang aku dengar dari alasan-alasan kalian kepada saya.”
Kemudahan kepada para hakim
Allah memberikan kemudahan kepada para hakim didalam menyelesaikan persengketaan-persengketaan manusia. Apa kemudahan itu? Yaitu Allah tidak memberikan sanksi kepada mereka dalam perkara-perkara yang sifatnya tidak terlihat/batin. Sebab kalau misalnya seorang hakim itu harus mengetahui apa yang ada di hati seseorang, berat sekali. Maka cukup seorang hakim menghukumi sesuatu yang tampak kepada dia.
Maka kalau misalnya ternyata yang tampak itu tidak sesuai dengan yang tampak, yaitu si hakim tersebut dimaafkan. Dalam kaidah fiqih ada sebuah kaidah mengatakan: “Kita hanya menghukumi sesuai yang tampak saja, adapun yang tidak tampak, maka kita serahkan semuanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.”
Jika keputusan hakim salah
Siapa yang diputuskan untuknya sebuah keputusan dengan sesuatu yang diyakini oleh hakim bahwasanya itu adalah benar setelah melakukan berbagai macam usaha melihat bukti-buktinya dan yang lainnya terus dipelajari. Karena seorang hakim itu tidak sembarangan. Tidak boleh dia langsung memutuskan secepat itu, dia harus mengumpulkan bukti-buktinya, dia harus mengumpulkan segala sesuatunya untuk melihat siapa yang benar dalam permasalahan-permasalahan yang disengketakan, kemudian setelah dia berijtihad, melihat, dan ternyata dia melihat ini yang haq, ya sudah dihukumi. Jika ternyata qadarullah salah setelah dia berijtihad, maka kata Rasulullah: “Apabila seorang hakim berijtihad kemudian dia benar, maka dia mendapat dua pahala. Kalau dia berijtihad kemudian salah, maka dapat satu pahala.” Tentunya dengan syarat, si hakim tersebut memang tujuannya mencari kebenaran. Kalau ternyata setelah diputuskan baru dapat bukti-bukti yang sangat kuat ternyata keputusannya salah, maka seorang hakim wajib merubah keputusannya tersebut. Tidak boleh kemudian hanya karena mendapatkan uang suap yang lebih besar dan yang lainnya, dia putuskan buat orang yang lebih besar. Ini dzalim, haram hukumnya.
Simak pembahasan yang penuh manfaat ini pada menit ke-13:03
Download MP3 Kajian Tentang Haramnya Memakan Harta Dengan Cara Yang Batil – Surat Al Baqarah ayat 188-189
Podcast: Play in new window | Download
Artikel asli: https://www.radiorodja.com/48318-haramnya-memakan-harta-dengan-cara-yang-batil-surat-al-baqarah-ayat-188-189/